Kerajaan Mataram Kuno merupakan salah satu kerajaan terpenting dalam sejarah Nusantara yang berkembang di Jawa Tengah antara abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Keunikan utama kerajaan ini terletak pada pemerintahan oleh dua dinasti berbeda yang menganut agama berbeda pula - Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu Siwa dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha Mahayana. Kedua dinasti ini saling berinteraksi, baik melalui persaingan maupun kerja sama, meninggalkan warisan budaya yang sangat berharga bagi Indonesia.
Berdasarkan prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Magelang, Kerajaan Mataram Kuno didirikan sekitar tahun 732 M oleh Raja Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bagaimana Sanjaya mendirikan lingga di bukit Kunjarakunja sebagai simbol kekuasaannya. Dinasti Sanjaya mengembangkan kerajaan dengan basis agama Hindu Siwa, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh agama lain dalam masyarakat.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul Dinasti Syailendra yang berkuasa di wilayah yang sama namun dengan corak Buddha Mahayana. Munculnya dinasti ini menimbulkan berbagai teori di kalangan sejarawan. Ada yang berpendapat bahwa Syailendra datang dari luar Jawa, mungkin dari Sriwijaya atau bahkan India Selatan, sementara teori lain menyatakan bahwa Syailendra merupakan kelanjutan dari penguasa lokal yang beralih keyakinan.
Hubungan antara kedua dinasti ini sangat kompleks. Beberapa prasasti menunjukkan bahwa pada periode tertentu, kedua dinasti ini berkuasa secara bersamaan di wilayah yang berbeda. Prasasti Kalasan tahun 778 M, misalnya, menyebutkan tentang pembangunan Candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Tara atas perintah Maharaja Tejapurnapana Panangkaran dari Wangsa Syailendra. Menariknya, raja ini juga dikenal dalam tradisi Sanjaya sebagai Rakai Panangkaran.
Puncak kejayaan Dinasti Syailendra ditandai dengan pembangunan Candi Borobudur, monumen Buddha terbesar di dunia yang dibangun sekitar abad ke-9 Masehi. Pembangunan candi megah ini membutuhkan waktu puluhan tahun dan melibatkan ribuan pekerja. Borobudur tidak hanya menjadi pusat keagamaan tetapi juga simbol kekuasaan dan kemakmuran Wangsa Syailendra. Desain arsitekturnya yang rumit mencerminkan kosmologi Buddha Mahayana dengan tingkatan-tingkatan spiritual menuju pencerahan.
Sementara itu, Dinasti Sanjaya meninggalkan warisan berupa kompleks candi Hindu di Dataran Tinggi Dieng dan kemudian Candi Prambanan. Candi Prambanan yang dibangun pada abad ke-9 Masehi merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, dipersembahkan untuk Trimurti - Brahma, Wisnu, dan Siwa. Pembangunan candi ini menandai kebangkitan kembali pengaruh Hindu di Jawa Tengah setelah dominasi Buddha di bawah Syailendra.
Interaksi antara Mataram Kuno dengan kerajaan lain di Nusantara sangat menarik untuk dikaji. Hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya misalnya, tercatat dalam prasasti Ligor yang menyebutkan tentang persekutuan antara Syailendra dengan Sriwijaya. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa Syailendra merupakan cabang dari keluarga kerajaan Sriwijaya yang dikirim untuk menguasai Jawa.
Perbandingan dengan kerajaan-kerajaan lain seperti Kerajaan Kutai yang merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia, atau Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat, menunjukkan variasi perkembangan politik dan budaya di berbagai wilayah Nusantara. Sementara Kutai meninggalkan prasasti Yupa sebagai bukti sejarahnya, Mataram Kuno meninggalkan kompleks candi yang jauh lebih megah dan rumit.
Transisi kekuasaan dari Mataram Kuno ke kerajaan-kerajaan penerusnya juga menjadi bagian penting dalam sejarah. Setelah periode keemasan di Jawa Tengah, pusat pemerintahan berpindah ke Jawa Timur, melahirkan kerajaan-kerajaan seperti Medang, kemudian Kerajaan Singasari, dan akhirnya Kerajaan Majapahit yang menjadi kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara.
Warisan Kerajaan Mataram Kuno tidak hanya berupa bangunan fisik seperti candi-candi megah, tetapi juga sistem pemerintahan, tradisi sastra, dan organisasi sosial yang mempengaruhi perkembangan kerajaan-kerajaan berikutnya. Sistem irigasi yang dikembangkan untuk pertanian, organisasi masyarakat dalam wanua-wanua (desa), serta perkembangan seni dan sastra menjadi fondasi bagi peradaban Jawa selanjutnya.
Dalam konteks sejarah global, Kerajaan Mataram Kuno menunjukkan kemampuan masyarakat Nusantara dalam menyerap dan mengembangkan pengaruh budaya India, menciptakan sintesis budaya yang unik. Berbeda dengan Kerajaan Mesir kuno yang berkembang di lembah sungai Nil dengan peradaban yang sangat berbeda, Mataram Kuno mengembangkan peradaban agraris di dataran vulkanik yang subur dengan sistem kepercayaan yang kompleks.
Penemuan kembali situs-situs peninggalan Mataram Kuno pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang sejarah Indonesia. Arkeolog seperti Thomas Stamford Raffles memulai dokumentasi sistematis terhadap candi-candi ini, dilanjutkan oleh para arkeolog Belanda dan kemudian Indonesia. Restorasi Borobudur dan Prambanan yang dilakukan secara besar-besaran menjadikan kedua candi ini sebagai situs warisan dunia UNESCO.
Pelajaran yang dapat diambil dari sejarah Kerajaan Mataram Kuno adalah kemampuan masyarakat dalam mengelola perbedaan dan menciptakan harmoni antara berbagai keyakinan. Koeksistensi antara Hindu dan Buddha dalam satu kerajaan menunjukkan toleransi beragama yang sudah berkembang sejak zaman kuno. Nilai-nilai ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia modern yang majemuk.
Penelitian terbaru tentang Mataram Kuno terus mengungkap fakta-fakta baru. Teknologi LiDAR (Light Detection and Ranging) misalnya, telah mengungkap adanya permukiman kuno di sekitar kompleks candi yang sebelumnya tidak terdeteksi. Analisis isotop pada tulang manusia dari situs pemakaman kuno juga memberikan gambaran tentang pola makan dan mobilitas penduduk Mataram Kuno.
Dalam konteks pendidikan, sejarah Kerajaan Mataram Kuno menjadi bagian penting dalam kurikulum sejarah Indonesia. Pemahaman tentang dinamika politik, sosial, dan budaya kerajaan ini membantu generasi muda memahami akar peradaban Indonesia. Warisan arsitektur dan seninya juga menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan budaya kontemporer.
Perbandingan dengan kerajaan-kerajaan kontemporer lainnya seperti Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, menunjukkan transformasi budaya dan agama yang terjadi dalam sejarah Nusantara. Demak yang berkembang pada abad ke-15 Masehi mewakili fase baru dalam sejarah Jawa, berbeda dengan era Hindu-Buddha Mataram Kuno.
Kesimpulannya, Kerajaan Mataram Kuno dengan dualisme Dinasti Sanjaya dan Syailendra merupakan periode penting dalam sejarah Indonesia yang meninggalkan warisan budaya tak ternilai. Studi tentang kerajaan ini tidak hanya penting untuk memahami masa lalu, tetapi juga untuk mengambil pelajaran tentang pengelolaan keragaman dan pembangunan peradaban yang berkelanjutan.